Rabu, 05 Desember 2018

Dakwah Dalam Balutan Stereo



Lantunan murrotal menggema di penjuru nusantara, pertanda muslim hadir berada. Batin pun merasa tenang baik mendengarkan pun turut melantunkan. Mengiringi pergantian malam-malam penuh do'a yang dipanjatkan oleh para umat.

Terlintas di benak, jika murrotal dapat berdamai dengan stereo pendengaran manusia. Bagaimana dengan musik yang juga dapat mempengaruhi kenyamanan hati para pendengarnya?

Mungkin beberapa dari kita menyadari bahwa terdapat pro dan kontra terhadap musik, ada yang dengan lantang menyuarakan bahwa kegiatan bermusik baik produksi maupun konsumsi tidak diperkenankan dengan rasionalisasi dapat melelahkan hati karena terayun oleh mood suatu produk musik dengan genre juga isi lirik yang beragam. Salah? Tidak! Bukan berarti mengelak dalil yang telah ditetapkan, mari coba lihat dari sudut pandang lain.

Imam Al-Ghazali dalam bukunya yang bertajuk Musik dan Gairah (1058-1111) menyatakan, “Gairah diperoleh manusia dengan perantara mendengar musik.” Imam yang dijuluki Hujjatul Islam itu sendiri membatasi diri dari yang dianggap dibolehkan. Ia mengatakan mendengar musik dan lagu  itu tidak menjadi masalah, karena mendatangkan hiburan, asalkan tidak membawanya ke perbuatan dosa. Seperti di era modern sekarang ini pada Majalah Rolling Stone Indonesia edisi Maret 2015 Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin dalam wawancara khusus menyatakan Musik Itu Indah, Dan Tuhan Menyukai Keindahan.

Terima atau tidak bisa dikatakan musisi tanah air yang memiliki mahakarya dengan kekentalan unsur dakwah didalamnya seperti Rhoma Irama, Bimbo, Opick, bahkan unit deathmetal Purgatory yang menjadikan musik sebagai media berdakwah. Sejatinya banyak cara untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan, berdakwah tidak melulu identik dengan mimbar. Seiring dengan perkembangan zaman, proses kreatif semakin beragam. Lantas kenapa tidak jika menjadikan musik sebagai media alternatif edukasi religi? Musik memang dapat digadangkan sebagai bahasa universal karena dapat digunakan untuk menyampaikan beragam pesan, mulai cinta, persahabatan, hingga dakwah. Kelenturan itulah yang ditangkap beberapa pegiat dakwah untuk diaktualisasikan. Fenomena ini memang memunculkan pertentangan antara tuntutan dakwah dan konteks agama yang melarang permainan alat musik tertentu. Tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa kalangan yang disebut “penyebar islam” di tanah Jawa memilih metode ini dalam kegiatan dakwah seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Drajat.

Tidak sampai situ saja, terdapat sebuah julukan untuk seorang Sunan yang identik dengan alat musik khas Indonesia (gamelan) tidak lain adalah Sunan Bonang. Sosok yag menggubah karya sastra yang dipengaruhi oleh kitab – kitab lalu membawa nuansa baru tentang gamelan yang identik dengan tradisi Hindu menjadi universal dan memiliki sisi ibarat koin yang tidak bisa dibuang begitu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar